Saturday 22 October 2011

Budaya Baru di Indonesia, Budaya Anti Korupsi. Mungkinkah?

ilustrasi: koruptorindonesia.com
Hidup sederhana
Gak punya apa-apa tapi banyak cinta
Hidup bermewah-mewahan

Punya segalanya tapi sengsara
Seperti para koruptor
( Slank - Seperti Para Koruptor)


Apakah Anda tahu lirik lagu tersebut? Ya, bagi Anda para Slankers tentunya tahu betul lagu itu. Di saat negara kita dilanda krisis dan kemiskinan. Tak jarang dari mereka hidup sederhana dan seba kekurangan. Namun mereka justru menerima keadaan dengan apa adanya. Sedangkan di sisi lain, para politisi yang diduga terkait dengan korupsi diseret satu per satu menuju BPK untuk memberikan pertanggungjawaban. Dan tak sedikit dari mereka ternyata benar-benar melakukan korupsi. Cocok dengan lirik lagu itu.

Negara Indonesia, negara yang kaya akan sumber alam dan warisan budaya, dan sampai saat ini belum terlepas dari belenggu korupsi. Apa mungkin sudah mendarah daging ya? Fenomena korupsi ini semakin hebat saja kelihaiannya sebagai “tukang garuk yang tak kelihatan” sehingga menghambat proses pemerataan hasil pembangunan secara adil di Indonesia. Bukan hanya di negara kita saja, bahkan di negara-negara berkembang lainnya juga mengalami masalah yang sama dengan kita. Korupsi dan rombongan keturunannya (kolusi, nepotisme, dikriminasi diam-diam, sogok, suap, pemerasan dan penipuan), hingga tak ada satupun orang termasuk para politisi yang jujur dan bersih sanggup untuk memberantasnya. Padahal semua orang di dunia ini setuju jika para koruptor diberantas habis. Namun persoalannya, memang tidak bisa dihadapi dengan statemen belaka.

Pernyataan korupsi sebagai sebuah kebudayaan tetap menjadi sebuah pernyataan yang melahirkan dua pandangan yang berbeda. Ada pihak yang menganggap bahwa tindak korupsi merupakan sebuah budaya dan ada juga yang menentang hal ini. Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan pemahaman kebudayaan, tergantung dari sudut pandang mana mereka menilainya. Korupsi bisa dikatakan sebagai sebuah kebudayaan jika kebudayaan itu diartikan sebagai sebuah tingkah laku yang terus diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah kebiasaan yang terus terpelihara dalam masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok besar seperti Bangsa Indonesia. Di sisi lain, korupsi dianggap bukanlah sebuah kebudayaan sebab korupsi sungguh bertentangan dengan nilai dan unsur kebudayaan itu sendiri.

Umumnya, setiap orang yang melakukan korupsi dilatarbelakangi oleh keinginan individu atau kelompok tertentu untuk memperoleh kebahagiaan. Nah, kebahagiaan inilah yang dianggap sebagai suatu nilai yang patut diperjuangkan oleh tiap orang agar ia memperoleh kehidupan yang layak sebagai seorang manusia. Keinginan untuk melakukan korupsi adalah salah satu sarana untuk mewujudkan cita-cita kebahagiaan hidupnya, meskipun cara yang ditempuh justru melanggar norma atau nilai yang ada di dalam masyarakat itu. Korupsi merupakan sebuah perilaku yang melanggar tatanan nilai dalam masyarakat misalnya nilai kejujuran, keadilan, kebaikan, kedamaian, dan lain-lain. Nilai kejujuran yang berkembang dalam masyarakat Indonesia ini kemudian terganti oleh sikap baru yaitu berbohong, egois, dan hanya mementingkan diri sendiri. Sikap-sikap seperti itulah yang menjadikan penghancur nilai-nilai kebudayaan nasional Bangsa Indonesia.

Mengulas tentang korupsi, di sini saya akan mengaitkan korupsi sebagai sebuah kebudayaan dan budaya anti korupsi dengan pendekatan teoritis dalam sosiologi. Ada dua pendekatan teoritis yang dianggap penting dalam hal ini, yakni pendekatan fungsional struktural dan pendekatan konflik. Pendekatan fungsional struktural menganggap bahwa masyarakat pada dasarnya menganut dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai kemasyarakatan tertentu. Pendekatan ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk keseimbangan. Sedangkan pendekatan konflik adalah adalah pendekatan yang melihat setiap masyarakat berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir dan mengandung konflik-konflik didalamnya.
Setelah melihat uraian di atas, ada hal yang sangat membedakan diantara kedua pendekatan tadi, yakni ada atau tidak adanya konflik yang merupakan sumber terjadinya perubahan kemasyarakatan. Saya tertarik dengan kritik yang dilontarkan David Lockwood bahwa pendekatan fungsiobnal struktural terlal menekankan proses-proses keinginan perseorangan diatur secara normatif untuk menjamin terpeliharanya stabilitas sosial. Disini Lockwood menjelaskan kepada kita bahwa faktanya setiap situasi sosial terdapat tata tertib normatif dan disposisi yang melahirkan konflik. Tumbuhnya tata tertib sosial justru mencerminkan adanya konflik dalam masyarakat. Sama halnya dengan korupsi, ketika kebanyakan orang mengagung-agungkan makna kejujuran, amanah, dan tanggung jawab yang harus mereka pegang teguh, ternyata hal tersebut menimbulkan konflik di dalamnya. Bisa jadi, hal inilah yang menyebabkan korupsi tetap ada di negara kita. Timbulnya budaya korupsi ini juga dilatarbelakangi dengan sikap adanya pemberian kekuasaan otoritatif dalam masyarakat. Karena terdapat perbedaan tingkat pembagian otoritas inilah, maka akan menimbulkan kepentingan yang berlawanan satu sama lain. Keinginan untuk membangun sebuah bangsa yang berperadaban maju disertai dengan nilai budi pekerti yang luhur, justru ada di sisi lain yang berusaha untuk melunturkannya dengan korupsi. Adanya kontradiksi antara kepentingan bersama maupun kepentingan individu akan menimbulkan konflik yakni munculnya sebuah kebudayaan baru, budaya korupsi.

Munculnya anggapan bahwa konflik merupakan gejala kemasyarakatan yang melekat dalam hidup masyarakat, sehingga tidak mungkin dilenyapkan. Bisa saja gejala itu lenyap, namun ia hanya akan lenyap bersama dengan lenyapnya masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, yang dapat kita lakukan hanyalah mengendalikannya agar budaya korupsi tidak akan terus menjamur dan berkembang biak. Bagaimana caranya? Yakni dengan mendukung penuh budaya anti korupsi. Namun untuk menggeser budaya korupsi dengan budaya anti korupsi tidaklah mudah. Kita harus membangun sebuah nilai-nilai baru, nilai yang lebih mudah diterima oleh mayarakat. Sebenarnya, adanya mentalitas modern seperti budaya konsumtif, berfikiran pendek, tidak mau bekerja keras, dan lain-lain. Ada satu titik pencerahan yang bisa kita manfaatkan. Dalam hal ini korupsi bisa dihilangkan dengan mengembangkan sebuah budaya tandingan seperti nilai-nilai agama. Setiap agama pasti mengembangkan nilai kerja keras, tanggung jawab, rasa bersalah dan lain-lain. Nah, inilah tantangan kita bagaimana kita dapat mengajarkan dan menerapkan nilai-nilai tersebut kepada masyarakat dengan cara yang lebih fresh. Sebagai contoh, kita mengusahakan nilai kerja keras dalam masyarakat. Kita berusaha berfikir bahwa kita akan lebih bahagia jika kita bisa menikamti hasil jerih payah yang merupakan buah dari kerja keras kita sendiri bagaimana caranya menanamkan kebudayaan anti korupsi. Dan setelah itu kita menularkan dan mengajak orang di sekitar kita, dengan cara halus, dan dapat meyakinkan orang di sekeliling kita, bahwa korupsi itu tidak baik, karena korupsi sama dengan mencuri yang berarti merampas hak orang lain atau mengambil sesuatu yang bukan milik kita sendiri.
 
 
 
Really proud and thanks a lot for:

No comments:

Post a Comment

x