Fenomena, mungkin ini sudah fenomena bertahun-tahun belakangan ini. Sebagai seorang guru, kerapkali saya mendengar kesibukan murid-murid yang melebihi kesibukan gurunya. Senin sampai Sabtu, murid-murid saya disibukkan dengan les tambahan di bimbingan belajar. Ada pula yang sengaja mendatangkan les private.
Setelah bertahun-tahun saya dipercayakan mengajar di kelas satu, kini giliran saya mengajar di kelas tiga. Agar mengerti materi secara keseluruhan saya membaca semua buku pelajaran. Ada 12 pelajaran termasuk tiga di antaranya adalah pelajaran muatan lokal. Cukup kaget saya ketika beberapa pelajaran materinya cukup mendalam. Anak kelas 3 SD belajar seperti mahasiswa saja. Sehingga ketika bertemu dengan orang tua ajakan untuk mengajar les berdatangan,
“Pak Erfan bisa bantuin anak saya tidak untuk mengajar les? Sekarang kan sudah kelas tiga pelajarannya sudah susah-susah.”
“Pak Erfan tolong anak saya, dong! Kemarin saat kelas dua nilai Matematika dan IPAnya anjlok. Padahal dua pelajaran itu penting sekali.”
Materi yang “terlalu” mendalam ini membuat orang tua kelabakan. Jika tidak ada les tambahan bisa dipastikan anak-anak akan ketinggalan. Tidak saja orang tua yang kelabakan guru di kelas pun kelabakan luar biasa. Mengajar bukan lagi sebagai transfer ilmu namun sudah menjadi tuntutan agar kompetensi anak tercapai.
“Beban” yang dirasakan guru akhirnya membuat materi yang diajarkan tak lagi menyenangkan. Guru khawatir saat mengajarkan materi itu secara menyenangkan berkesan main-main dan banyak materi yang ketinggalan. Sehingga guru lebih memilih serius mengajar dan anak-anak duduk rapi memperhatikan.
Orang tua yang melihat “beban” ini pun tak mau tinggal diam. Untuk mengulang materi, les/kursus diberikan. Jadwal kursus pun sudah dibuatkan, Senin pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia, Selasa Bahasa Inggris, Rabu, Kamis hingga Sabtu sudah tersedia jadwal tersendiri. Jika sudah begini hak anak untuk bermain pun terabaikan.
Sebagai guru saya akui, materi anak-anak SD sekarang memang lebih berat. Pelajaran sejarah pun diajarkan secara detail. Padahal menilik ini untuk masa depannya tidaklah terlalu penting. Begitu pula dengan pelajaran-pelajaran yang seharusnya tidak dinilai secara teori semata, cukuplan dengan observasi dan praktek. Misalnya tentang materi aturan yang berlaku di sekolah atau masyarakat, cukup dinilai secara observasi/praktek.
Beratnya materi ini membuat guru pun ketar-ketir dan akhirnya menyuguhkan materi dengan sangat detail. Apalagi jika berhubungan dengan ujian akhir yang soalnya diambil dari diknas. Soal-soal teoritis terasa kental sekali dibandingkan soal-soal pemecahan masalah. Bahkan kadang soal dirasa lebih sulit dari materi yang diujikan.
Kekhawatiran orang tua pun beralasan dan menjadikan les tambahan sebagai solusi yang tepat. Akhirnya pendidikan kita hanya berkutat pada masalah akademis. Lupa akan pendidikan yang berbasis pada karakter. Jadi jangan heran jika banyak orang pintar di Indonesia tapi akhlak dan karakternya buruk. Bisa ditebak, kenapa korupsi di Indonesia makin merajalela?
Akhirnya, belajar di sekolah kini tak lagi cukup. Kegiatan bersekolah dinilai hanya mengambil formalnya saja. Materi tuntas meski tidak tuntas karena anak masih belum mengerti materi yang disampaikan secara keseluruhan. Pradigma di masyarakat yang melabeli anak cerdas adalah yang bagus nilai matematika dan ilmu alamnya turut memperkeruh pendidikan di Indonesia.
Seorang murid pindah ke Australia karena orang tuanya bersekolah di sana. Saat pulang mereka bercerita tentang pendidikan di negeri kanguru tersebut,
“Pak di sana mah anak kebanyak main. Soal-soal yang diberikan ke murid kebanyakan menjodohkan atau tarik garis. Kalau di Indonesia kan banyak belajar, serius pula. Eh, lembar kerjanya kebanyakan tipe-tipe soalnya seperti ini “Sebutkanlah! Apa saja yang termasuk?” dan lain-lain. Miris, pak!”
Sulit memang mengubah carut marut dunia pendidikan sekarang. Namun sebagai guru saya akan mengajarkan materi dengan menyenangkan: sambil bermain, memasak, nonton film, bernyanyi dan bermain. Sebagai orang tua, kenali anak-anak kita dan lihat apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Bukan melihat kebutuhan mereka berdasarkan paradigma masyarakat yang berkembang.
Really proud and so much thanks for :
Exciting Learning Tagged Australia, Bimbingan belajar, sekolah alam bogor
No comments:
Post a Comment